Kalimat
“Siapa suruh dateng ke Jakarte..” sudah terdengar biasa bagi warga pendatang di
daerah sekitar Jembatan Lima tepatnya di kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Kecamatan Tambora itu sendiri terdiri dari beberapa kelurahan, antara lain
Angke, Duri Selatan, Duri Utara, Jembatan Besi, Jembatan Lima, Kali Anyar,
Krendang, Pekojan, Roa Malaka, dan Tanah Sereal. Kali ini saya hanya membahas
beberapa kelurahan saja yang terdekat dari Jembatan Lima.
Jembatan Lima |
Konon
nama Jembatan Lima diambil dari jumlah jembatan yang terdapat di sepanjang
jalan Hasyim Ashari sampai jalan Sawah Lio 1. Namun, seiring berjalannya waktu
jembatan tersebut sudah tidak ada lagi dan sungainya pun telah banyak berubah.
Jembatan tersebut melewati sungai yang biasa disebut orang sebagai sungai
Jembatan Lima atau Kanal atau Angke dan sungai Cibubur yang berarti sungai
bubur, kotor dan banyak lumpur.
Meski
sungai tersebut kotor dan banyak lumpur tapi tetap saja mengundang banyak
perantau untuk singgah disana demi mencari nafkah di Jakarta. Pemukiman
penduduk di sekitar Jembatan Lima sangan amat padat. Sudah padat dengan rumah,
padat kendaraan, padat pula sampahnya. Menurut berita daerah tersebut akan
mendapat gusuran dari Gubernur DKI Jakarta karena daerah tersebut merupakan
tanah pemerintah dan semestinta dijadikan lahan steril agar tak terjadi banjir
dan disana juga terdapat banyak sutet listrik yang tidak baik radiasinya jika tempat tersebut dijadikan pemukiman penduduk.
Pemukiman sekitar sungai |
Ketika anda memasuki pemukiman
tersebut, anda akan meilhat sebuah posyandu dan didepannya terdapat fire
emergency. Awalnya saya berfikir ini merupakan hal unik karena jarang ada di
pemukiman lain. Namun, setelah saya searching beberapa hal mengenai daerah
tersebut. Ternyata fire emergency itu biasanya ada di pemukiman yang sering
terjadi kebakaran. Akibat dari padatnya penduduk, sempitnya jalan untuk dilalui
mobil pemadam kebakaran, dan banyaknya rumah yang terbuat dari bahan yang mudah
terbakar (kayu).
Fire Emergency di depan Posyandu |
Terdapat
Digger di pinggiran sungai Jembatan Lima yang biasa digunakan PU untuk
membersihkan sungai dengan mengangkut sampah-sampah. Tapi tetap saja daerah
sana banjir jika curah hujan tak terbendung karena dari warganya sendiri tidak
sadar akan kebersihan. Mereka tetap membuang sampah seenaknya ke dalam sungai.
Padahal air sungai itu biasa mereka gunakan untuk mencuci baju dan masak sehari-harinya.
Disana meski rumahnya berada di
dalam gang kecil dan hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki, tapi mereka tetap
memiliki kendaraan. Dan kendaraan mereka biasa diparkir di jalan utama yang
paling tidak muat untuk dilalui 2 mobil. Disana juga sepeda motor diparkir di
jalan utama dan tidak di gembok pun aman. Namun tidak semua gang kecil hanya
bisa dilalui oleh pejalan kaki, kadang ada juga gang kecil yang bisa dilalui
motor meski dengan catatan “masuk ke dalam, harap mesin dimatikan dan jangan
ngebut”.
Jalan utama sekitar pemukiman |
Salah satu contoh gang kecil di sekita pemukiman |
Di
sekitar sana terdapat 3 buah mall, 1 stasiun kereta, dan 1 pasar tradisional.
Mall tersebut antara lain Season City, ITC Roxy, dan Roxy Square. Kemudian ada
stasiun Duri dan pasar tradisional Grogol. Terdapat pula beberapa angkutan di
sekitar tanggul Jembatan Lima yang berlalu lalang seperti bajaj dan angkutan
lingkungan BBG (Bajaj Berssubsidi).
Jalur KRL dari stasiun Duri |
Mall Roxy Square |
Angkutan lingkungan BBG |
Bajaj |
Menurut saya pemukiman di sekitar Jembatan
Lima sangat unik. Hal itu saya nilai dari berbagai aspek. Berdasarkan
aspek kekeluargaan, disana sangat terjalin erat kekeluargaanya disbanding
daerah lain. Mungkin hal ini disebabkan karena rumah mereka yang saling
berhimpitan. Bahkan disana sampai ada suatu perhimpunan, bernama “Ikatan
Keluarga Besar Grogol” dan ada pos perkumpulannya juga.
Kemudian
berdasarkan aspek sosial, disana banyak anak yang putus sekolah yang sebagian
besar sengaja diberhentikan oleh orang tuanya. Kemudian mereka bekerja biasanya
bekerja di pasar tradisional mengingat rata-rata lulusan mereka hanyalah SD dan
SMP. Sebab itulah disana banyak orang yang kurang waras, suka mabuk, “pemakai”,
dan penjudi. Disana juga banyak perantau sehingga terdapat warna-warni bahasa
daerah yang digunakan.
Lapangan bola |
Dan hal
unik lainnya yaitu disana terdapat sebuah lapangan bola yang berada di sungai.
Jadi ketika kita ingin bermain, kita harus turun kebawah tanggul. Namun, ketika
banjir kita tidak bisa bermain bola karena lapangan akan tertutup genangan air.
Hal ini sebagai salah satu bukti bahwa di Jakarta sudah tidak ada lahan lagi
bagi kita generasi muda untuk bermain, bersenang-senang dengan teman-teman.
Kini kita sebagai generasi muda
hanya diperintahkan untuk belajar dan belajar demi masa depan yang cerah.
Padahal permainan yang biasa kita jadikan hoby terkadang bisa menjadi masa
depan yang cerah juga. Mungkin nantinya anak cucu kita tidak akan merasakan
serunya permainan bola di tengah lapangan merah pada sore hari yang akan
selesai jika azan maghrib telah berkumandang. Mungkin nantinya mereka hanya
merasakan bahwa kalau ingin bermain bola harus menyewa sebuah lapangan dan
itupun indoor.
No comments:
Post a Comment