November 12, 2014

“Siapa suruh dateng ke jakarte…”

                Kalimat “Siapa suruh dateng ke Jakarte..” sudah terdengar biasa bagi warga pendatang di daerah sekitar Jembatan Lima tepatnya di kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Kecamatan Tambora itu sendiri terdiri dari beberapa kelurahan, antara lain Angke, Duri Selatan, Duri Utara, Jembatan Besi, Jembatan Lima, Kali Anyar, Krendang, Pekojan, Roa Malaka, dan Tanah Sereal. Kali ini saya hanya membahas beberapa kelurahan saja yang terdekat dari Jembatan Lima.
Jembatan Lima
                Konon nama Jembatan Lima diambil dari jumlah jembatan yang terdapat di sepanjang jalan Hasyim Ashari sampai jalan Sawah Lio 1. Namun, seiring berjalannya waktu jembatan tersebut sudah tidak ada lagi dan sungainya pun telah banyak berubah. Jembatan tersebut melewati sungai yang biasa disebut orang sebagai sungai Jembatan Lima atau Kanal atau Angke dan sungai Cibubur yang berarti sungai bubur, kotor dan banyak lumpur.
                Meski sungai tersebut kotor dan banyak lumpur tapi tetap saja mengundang banyak perantau untuk singgah disana demi mencari nafkah di Jakarta. Pemukiman penduduk di sekitar Jembatan Lima sangan amat padat. Sudah padat dengan rumah, padat kendaraan, padat pula sampahnya. Menurut berita daerah tersebut akan mendapat gusuran dari Gubernur DKI Jakarta karena daerah tersebut merupakan tanah pemerintah dan semestinta dijadikan lahan steril agar tak terjadi banjir dan disana juga terdapat banyak sutet listrik yang tidak baik radiasinya jika tempat tersebut dijadikan pemukiman penduduk. 
Pemukiman sekitar sungai
Ketika anda memasuki pemukiman tersebut, anda akan meilhat sebuah posyandu dan didepannya terdapat fire emergency. Awalnya saya berfikir ini merupakan hal unik karena jarang ada di pemukiman lain. Namun, setelah saya searching beberapa hal mengenai daerah tersebut. Ternyata fire emergency itu biasanya ada di pemukiman yang sering terjadi kebakaran. Akibat dari padatnya penduduk, sempitnya jalan untuk dilalui mobil pemadam kebakaran, dan banyaknya rumah yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu).
Fire Emergency di depan Posyandu

                Terdapat Digger di pinggiran sungai Jembatan Lima yang biasa digunakan PU untuk membersihkan sungai dengan mengangkut sampah-sampah. Tapi tetap saja daerah sana banjir jika curah hujan tak terbendung karena dari warganya sendiri tidak sadar akan kebersihan. Mereka tetap membuang sampah seenaknya ke dalam sungai. Padahal air sungai itu biasa mereka gunakan untuk mencuci baju dan masak sehari-harinya.

Disana meski rumahnya berada di dalam gang kecil dan hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki, tapi mereka tetap memiliki kendaraan. Dan kendaraan mereka biasa diparkir di jalan utama yang paling tidak muat untuk dilalui 2 mobil. Disana juga sepeda motor diparkir di jalan utama dan tidak di gembok pun aman. Namun tidak semua gang kecil hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki, kadang ada juga gang kecil yang bisa dilalui motor meski dengan catatan “masuk ke dalam, harap mesin dimatikan dan jangan ngebut”.
Jalan utama sekitar pemukiman

Salah satu contoh gang kecil di sekita pemukiman
                Di sekitar sana terdapat 3 buah mall, 1 stasiun kereta, dan 1 pasar tradisional. Mall tersebut antara lain Season City, ITC Roxy, dan Roxy Square. Kemudian ada stasiun Duri dan pasar tradisional Grogol. Terdapat pula beberapa angkutan di sekitar tanggul Jembatan Lima yang berlalu lalang seperti bajaj dan angkutan lingkungan BBG (Bajaj Berssubsidi). 
Jalur KRL dari stasiun Duri

Mall Roxy Square
Angkutan lingkungan BBG

Bajaj
                Menurut saya pemukiman di sekitar Jembatan Lima sangat unik. Hal itu saya nilai dari berbagai aspek. Berdasarkan aspek kekeluargaan, disana sangat terjalin erat kekeluargaanya disbanding daerah lain. Mungkin hal ini disebabkan karena rumah mereka yang saling berhimpitan. Bahkan disana sampai ada suatu perhimpunan, bernama “Ikatan Keluarga Besar Grogol” dan ada pos perkumpulannya juga.
                Kemudian berdasarkan aspek sosial, disana banyak anak yang putus sekolah yang sebagian besar sengaja diberhentikan oleh orang tuanya. Kemudian mereka bekerja biasanya bekerja di pasar tradisional mengingat rata-rata lulusan mereka hanyalah SD dan SMP. Sebab itulah disana banyak orang yang kurang waras, suka mabuk, “pemakai”, dan penjudi. Disana juga banyak perantau sehingga terdapat warna-warni bahasa daerah yang digunakan.
Lapangan bola
                Dan hal unik lainnya yaitu disana terdapat sebuah lapangan bola yang berada di sungai. Jadi ketika kita ingin bermain, kita harus turun kebawah tanggul. Namun, ketika banjir kita tidak bisa bermain bola karena lapangan akan tertutup genangan air. Hal ini sebagai salah satu bukti bahwa di Jakarta sudah tidak ada lahan lagi bagi kita generasi muda untuk bermain, bersenang-senang dengan teman-teman.

Kini kita sebagai generasi muda hanya diperintahkan untuk belajar dan belajar demi masa depan yang cerah. Padahal permainan yang biasa kita jadikan hoby terkadang bisa menjadi masa depan yang cerah juga. Mungkin nantinya anak cucu kita tidak akan merasakan serunya permainan bola di tengah lapangan merah pada sore hari yang akan selesai jika azan maghrib telah berkumandang. Mungkin nantinya mereka hanya merasakan bahwa kalau ingin bermain bola harus menyewa sebuah lapangan dan itupun indoor.

               

                 

No comments:

Post a Comment